Ketika Engkau Ditempa Wanadri, Majulah Jangan Berhenti !
![]() |
| Gambar : Selepas upacara pembukaan pendidikan dasar Wanadri 2016 |
Tepat hari ini !!!
Saudara-saudaraku seperjuangan akan terlahir kembali menjadi seorang Anggota Muda Wanadri (AMW) dan merintis menjadi penempuh rimba dan pendaki gunung sejati.
Lalu kenapa saya bisa menulis artikel ini?
Sedangkan lainnya masih menikmati masa-masa pendidikan dasar Wanadri.
Sudah bisa pembaca tebak jawabannya. Saya yaitu salah satu siswa yang harus balik kanan sebelum PDW usai.
Tanpa rasa aib saya beranikan diri untuk menulis artikel ini. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya akan menyebarkan pengalaman yang saya alami.
Hingga dikala artikel ini ditulis, angan dan pikiran saya masih terpatri di medan latihan. Betapa segarnya udara pagi hari dan lengangnya sekitar kawasan berlatih, dinginnya air danau, dan betapa berlumpurnya jalan yang kami lalui setiap hari. Masih bisa kucium baunya dari sini. Sangat dekat. Bahkan kolam lekat.
Fase demi fase bisa saya lewati dengan enjoy. Ini bukan berarti Wanadri mempunyai standar training yang buruk. Melainkan training dengan sistem yang sangat proporsional. Karena siswa PDW hanya dihadapkan pada dua pilihan. Antara anda menikmatinya atau balik kanan lebih dini. Itu yang saya tangkap selama mengikuti Pendidikan dasar Wanadri.
Sebenarnya ada beberapa poin inti yang saya tangkap dari Pendidikan Dasar Wanadri. Yaitu, pembentukan karakter, Nasionalisme, Olah fisik, dan disiplin waktu.
Poin terakhir yaitu yang pertama akan saya jabarkan. Soal disiplin waktu, Wanadri sangat memegang teguh poin tersebut. Terbukti dengan tidak melewatkan tiap detiknya untuk setiap kegiatan.
Detik yang terbuang sama dengan kecerobohan dan turunnya fokus. Oleh alasannya yaitu itu, instruktur selalu memperingati setiap siswa yang ceroboh. "Fokus ! fokus! fokus tuan !" teriakkan tersebut hampir tak pernah berjeda disetiap harinya.
Semua siswa tiba dari latar belakang yang berbeda-beda. Tentunya dengan abjad dan tingkat kedisiplinan yang berbeda pula dikesehariannya. Dan saya yaitu pola siswa yang tiba dengan latar belakang pemalas.
Lumayan kaget juga dihari-hari awal. Saya keteteran mengikuti porsi latihan yang diberikan. Karena segala sesuatunya bermain dengan waktu.
Hari demi hari terlampaui. Kegiatan tidak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Hanya saja porsi dan durasi latihan semakin tinggi. Oh ya, dihari ketiga ada salah satu siswa PDW yang dipulangkan. Mulai hari itu juga pikiranku selalu dibayang-bayangi ketakutan akan hal yang sama bakal menimpa kesaya. Namun, semangat yaitu satu-satunya hal yang harus tetap ada.
Latihan terus berlanjut. "Tidak ada orang andal disini. Melainkan orang yang berlatih, berlatih, dan terus berlatih". Itulah salah satu kalimat yang saya kutip dari salah seorang dokter yang praktek disebuah rumah sakit terkemuka di ibu kota. Dari situ saya berguru untuk terus berguru dan mempelajari. Meskipun saya terbilang bodoh. Tapi, saya terus mencoba dan berlatih.
![]() |
| Gambar : Apel pagi ketika PDW |
Bicara soal latihan. Kegiatan yang sangat saya sukai yaitu bimbingan jasmani (binjas) yang diampu oleh instruktur Martin Rimbawan. Saya sangat menikmati prosesnya dengan bahagia hati.
Karena dari pembawaannya saja instruktur Martin sudah bisa meningkatkan mood untuk berolah raga. Pelatih Martin yaitu orang yang sangat konsisten. Apalagi soal disiplin waktu. Dia tidak akan mentolerirnya. Satu seri, dua seri, dan seterusnya sering kita sanggup alasannya yaitu keterlambatan di lokasi binjas.
Hari demi hari terus berlalu hingga pada suatu ketika ada insiden yang saya alami. Sore hari sebelumnya gigi geraham sebelah kiriku mulai terasa sakit. Namun, keinginanku untuk konsultasi ke medis terhalang pemikiranku sendiri. "Dulu temanku pernah dipulangkan alasannya yaitu sakit gigi. Ah, sebaiknya saya obati saja sendiri" begitulah dalam benakku berkecamuk. Dalam kondisi sakit gigi dan tidur dengan pakaian serba berair tentu menciptakan sakit gigiku semakin menjadi. Kepala juga ikut-ikutan berdenyut serasa mau pecah. Ditambah lagi sentuhan magis instruktur yang melihat lambatnya pergerakanku. Membuat saya sempat tersungkur sejenak tak bisa bergerak.
Aku harus berpengaruh !
Dengan tertatih-tatih saya berusaha berjalan menuju lapangan untuk melaksanakan binjas. Sebelumnya saya sudah meminta izin kepada instruktur untuk pergi ke medis. Namun, tim dokter belum ada yang bangun. Jadi, mau tidak mau saya harus bergabung bersama yang lain menuju lapangan binjas.
Rasanya langkah demi langkah sangat berat. Semakin melangkah, semakin sakit gigiku. Apalagi sesudah mandi sebelum memasuki lapangan. Sakitnya luar biasa. Saya tetap memaksakan mengikuti olah raga. Tentunya dengan gerakan asal-asalan.
Sudah bisa bergerak saja itu sudah bagus. Mau diapakan juga saya tidak bisa memaksa lebih untuk mengikuti binjas dengan baik. Karena itu sudah batas maksimal saya memaksakan diri untuk terus bergerak.
Dari arah belakang ada salah satu instruktur yang saya sendiri tidak terlalu paham itu siapa. Yang terang dikala itu saya hanya terfokus pada rasa sakit yang tidak karuh-karuhan. Dengan kondisi lunglai tak berdaya saya disuruh duduk di bawah pohon besar. Seketika itu pula air mata saya jatuh tanpa tersadari. Berpikir kalau inilah akhirnya. Disinilah tahap dimana saya akan dipulangkan. Benar-benar campur aduk perasaanku dikala itu.
Saya lekas mendapatkan penanganan medis bersama beberapa siswa lainnya. Mereka tiba dengan banyak sekali keluhan. Setelah hari mulai terang, kami yang berada dalam penanganan medis mulai melaksanakan pergerakan supaya tidak terlalu kedinginan. Gigiku juga berangsur-angsur membaik. Dengan ditemani instruktur saya berjalan keliling lapangan sambil menggerakkan tangan.
Senang sekali rasanya bisa melewati tahap basic dan saya masih bertahan. Namun, bukan berarti porsi latihan akan berkurang. Justru latihan semakin keras. Karena kita akan terjun pribadi ke medan operasi yang sesungguhnya. Dari lokasi basic kita bergerak mengitari perbukitan sekitar. Karena di seberang agak jauh truk-truk telah menunggu kami. Tidak ada yang tau kami mau kemana dan akan melaksanakan apa. Intinya tabah saja itu sudah cukup. Gigiku masih terasa sakit diperjalanan itu. Namun, sudah berkurang dan membaik.
Sesamainya di lokasi, kami pribadi diboyong menuju medan operasi selanjutnya. Setelah hingga kami pribadi dibagi regu dan barak untuk beristirahat.
Selepas itu kami melakoni dua medan operasai dalam dua hari. Yaitu, medan Tebing terjal dan ORAD. Malam sebelum recovery kita sempat diberi kesempatan untuk melaksanakan konsultasi medis. Entah itu soal kaki, batuk, demam, atau bahkan pencernaan. Nah, kesempatan itu tidak saya lewatkan. Karena selepas itu saya mulai ada beberapa penyakit yang mulai menjangkit.
Soal kaki hal biasa bila terkena bla bla bla dan bla bla bla. Karena lebih banyak didominasi siswa PDW niscaya mencicipi hal yang sama. Saya hanya berkonsultasi perihal batuk dan pencernaan. Sebenarnya tidak hanya itu. Tapi, ketakutan bila harus dipulangkan memaksa saya untuk diam.
Itulah awal mula kesalahan terbesarku. Lebih menentukan untuk membisu daripada jujur perihal kondisi diri-sendiri kepada medis. Hari berikutnya yaitu recovery. Semua menyambutnya dengan riang. Karena bisa beristirahat sejenak sebelum kembali ke medan latihan. Recovery bekerjsama ditujukan untuk mereka yang list perlengkapannya hilang ataupun rusak supaya menggantinya dengan yang baru.
Setelah usai recovery kami kembali lagi ke medan operasi selanjutnya. Yaitu, rawa laut. Banyak siswa yang tidak kembali lagi sesudah recovery. Sangat disayangkan sebenarnya. Namun, itulah pilihan mereka. Bagaimanapun juga kita harus menghargainya. Perjalanan menuju medan rawa maritim tidak mengecewakan memakan waktu. Kita harus menuju pesisir utara Pulau Jawa.
Kondisi fisikku terasa melemah setibanya di medan rawa laut. Hari-hari sebelumnya juga begitu terasa melemah. Hingga setiap ada dialog dengan siswa lain yang cukup erat denganku. Aku niscaya berkata "sepertinya saya pulang". Kalimat itu saya ambil dari instingku. Belajar dari pengalaman PDW sebelumnya apabila menderita penyakit menyerupai yang saya derita. Mayoritas akan dipulangkan.
Kembali terjadi pergolakan didalam benakku. Namun, saya harus tetap menikmati prosesnya. Tetap tersenyum dan terus mengobarkan semangat untuk diri sendiri dan teman-teman lainnya. Selain saya harus tetap maju, dikala medan rawa maritim saya ditunjuk sebagai Komandan Regu (Danru). Mau tidak mau saya harus memaksimalkan sisa-sisa tenaga dan pikiran. Agar semua anggota reguku bergerak lebih simpel dan taktis.
Tidak ada satu orangpun yang tau kalau saya sedang sakit. Aku hanya tersenyum saja apabila sakitnya terasa begitu menggigit. Setiap langkah dan setiap medan berat rawa maritim saya nikmati dengan pedih dan ngilunya penyakitku semakin menjadi bila terrendam air payau. Setiap jengkal jarak yang saya lalui niscaya ditemani keringat hirau taacuh yang bercucur berlebihan.
Tuan Heri ...!
Tuan Heri ...!
Tuan Heri ...!
Ketika teriakan itu membubung ke udara. Saat itulah tenagaku menyerupai tersulut kembali. Yang tadinya tinggal 30% dari tenaga biasanya. Mampu bertambah kembali ketika mendengar gertakan-gertakan pelatih.
Malam harinya ketika kita mempunyai waktu istirahat lebih usang dari biasanya. Kami satu regu sempat berbincang-bincang perihal Wanadri, Kewanadrian, dan menjadi seorang Wanadri sejati. Ditemani nyala lilin yang redup dan terang bulan yang menawan. Kami siap menyambut waktu light off.
![]() |
| Gambar : Salah seorang siswa wanita pendidikan dasar wanadri sedang berjuang keluar dari rawa |
Pagi harinya perjalanan semakin berat. Semakin gila dan semakin asyik saja. Namun, saya tidak bisa membohongi bahwa fisikku semakin lemah dan menurun drastis. Itu terbukti dengan posisiku yang selalu melorot menjadi palin belakang. Kendati begitu, saya tetap menawarkan semangatku kepada para pelatih. "Aku masih belum habis!"
![]() |
| Gambar : Seorang siswa putri sedang dibakar semangatnya oleh pelatih |
Sore mulai beranjak dan untuk menutup senja kita dihadiahi mandi di sungai oleh pelatih. "Terima kasih Wanadri !" itu teriakkan wajibnya. Setelah itu kita kembali berjalan menuju entah kemana. Yang kutau tingkat kesadaranku sempat menurun drastis diperjalanan itu. Masih dengan keringat hirau taacuh yang sama dan tenaga yang hanya sekitar 25%. Aku masih tabah menjalaninya. Namun, ketika itu saya sudah tidak bisa lagi tersenyum.
Sesampainya ditempat bermalam saya lekas mempersiapkan makan malam dan pagi bersama regu baru. Tentunya dengan isyarat pelatih. Ketika malam tiba saya kembali ke medis untuk berkonsultasi. Langsung saja saya jelaskan penyakitku itu. Tanpa panjang lebar dokter memberiku pilihan "kamu mau pulang atau bagaimana?". Tentu saya menentukan pilihan bagaimananya.
"Kasih obat dulu dok" pintaku.
"Bisa saja sebenarnya. Tapi, setiap hari penyakitmu akan semakin parah. Kalau itu pilihan kau nanti saya beri obat. Sekalian obat penahan rasa sakit juga biar penyakit dan enkle-mu tidak terlalu sakit" terang dokter.
"Siap dok, saya tidak mau pulang" tukasku sambil menunggu Gasela rantidin, Duramycin, kaditic, dan lain sebagainya.
Dini hari menjelang pagi kami berdiri dan siap untuk sarapan. Setelah kegiatan selesai hingga mendekati pukul 06:00 kami start melaksanakan longmarch.
Perjalanan semakin terasa berat. Kondisi fisikku semakin lemah. Namun, ketika instruktur kembali menyemangati dengan gertakannya. Aku menghabiskan semua yang tersisa didalam diriku. Setelah berjalan sekitar 2 jam lebih sampailah kami di pos 1. Aku beristirahat dan berbincang dengan teman. Dia menanyakan kondisi penyakitku. Karena malam harinya beliau sempat berbarengan melaksanakan konsultasi medis.
"Semua baik-baik saja. Namun, tampaknya saya bakal dipulangkan" jelasku padanya.
Aku tidak tau harus bagaimana lagi. Setiap langkah terasa semakin parah saja. Benar-benar terasa sakitnya. Hingga pada cekpoin pemberangkatan longmarch sesudah melewati jalur pantura. Aku kembali ke medis. Di sana ada 2 orang yang sedang ditangani. Taufik tampaknya mengalami kehilangan cairan tubuh akut dan Aan kakinya mengalami pembengkakan dan infeksi.
Ketika medis justru tidak ada pikiran bahwa saya akan dipulangkan. Karena saya diberi obat dan ditangani oleh dokter. Senang agaknya ketika saya disuruh berjalan kembali. Namun, bedanya ditemani pelatih.
Tapi, itu berubah ketika instruktur menyuruhku duduk bersama Aan dan ranselku dinaikkan ke mobil. Disitu saya mulai bertanya-tanya. "Apa ini? Mau diapakan aku? Kenapa begini?" Semakin tidak karuan rasanya pikiranku. Tak terasa air mataku kembali meleleh tak tertahankan. Ketika reguku sudah beranjak meninggalkan kawasan itu.
Aan menepuk pundakku dan terus menyemangatiku. Namun, setiap satu regu keluar dan melanjutkan perjalanan. Rasanya emosi yang asing itu kembali muncul. Aku ingin murka tetapi entah kesiapa. Aku ingin meluapkan semua emosiku. Sedangkan untuk duduk saja susah dan sakit. Aku masih ingin terus berjalan. Melanjutkan usaha menuju selesai bersama calon-calon saudaraku. Namun, saya juga sangat tau batasku sendiri.
Dengan banyak sekali pertimbangan dan teringat sebuah kalimat di Pra PDW. "Sebentar lagi kau hingga puncak. Jika kau melanjutkannya, kau akan kehilangan kakimu. Namun, jikalau kau turun. Gunung itu tidak akan kemana-mana"
Dengan sangat berat hati dan sulit untuk menerimanya balasannya saya disuruh menandatangani surat pengunduran diri alasannya yaitu ambeien. Berat memang untuk mengiyakannya. Mengiyakan bahwa saya mau pulang. Tapi, itulah pilihannya. Dengan teramat berat saya tanda tangani surat itu. Karena hingga dikala ini penyakitku belum juga sembuh total. Meski telah 2 kali berobat.
Selamat terlahir kembali saudara-saudaraku. Menjadi seorang Anggota Muda Wanadri. Ingatlah bahwa hidupmu harus memegang teguh nilai-nilai kewanadrian.
Kalian yang bisa tabah hingga selesai dengan lancar haruslah bersyukur. Mungkin saya BELUM berjodoh dengan Wanadri.
Terima kasih untuk instruktur Otek, instruktur Martin, instruktur Kus, instruktur Hari, Pelatih Deny, dan semua instruktur PDW 2016 yang tidak saya sebutkan namanya satu-persatu.
Terima kasih Wanadri !
Jasamu awet !






Komentar
Posting Komentar