Jalur Pendakian Gunung Sumbing – Pendakian Menuju Pusara Semu Kyai Makukuan

Jalur pendakian Gunung Sumbing


Salam rimba...!
 
Salam mitra Pecinta Kaldera. Kali ini Pecinta Kaldera akan menyampaikan posting tentang  Jalur Pendakian Gunung Sumbing-Pendakian Menuju Pusara Kyai Makukuan. Sebelumnya Pecinta Kaldera sudah menyampaikan posting wacana Jalur Pendakian Gunung Merapi - Pendakian Spontan Mencari Ketenangan diGersangnya Pasar Bubrah.

Sekilas wacana gunung Sumbing.

Gunung Sumbing yaitu gunung api yang terletak di Pulau Jawa, Indonesia. Tepatnya berada di Propinsi Jawa Tengah. Gunung ini mempunyai ketinggian 3371M DPL. Gunung Sumbing terletak di tiga kabupaten. Yaitu Kabupaten Magelang, Temanggung, dan Kabupaten Wonosobo. Gunung Sumbing terletak di koordinat 7˚23’02”LS 110˚04’12”BT/7,384˚LS 110,07˚BT.Letusan terahir terjadi pada tahun 1730. Gunung Sumbing mempunyai kawah yang masih aktif atau sanggup disebut gunung Stratovolcano.

Gunung Sumbing mempunyai daerah hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp atas, hutan Montane, hutan Ericaceous atau hutan gunung. Sebagian lereng gunung ini telah dipakai untuk lahan pertanian.

Langsung saja kita simak artikel wacana Jalur Pendakian Gunung Sumbing dibawah ini.

Siang itu panas terus menguras semua cairan tubuh yang ada. Sedikit saja sisa tenaga dari pendakian tadi malam pendakian gunung Merapi. Kami berdua bersama Gunawan seorang Puja Kesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Kami berangkat hari rabu dan turun hari jum’at. Panas, gersang, dan lelah yang saya rasakan masih begitu nyata. Tapi terngiang jauh didalam hati. Tentang pendakian selanjutnya bersama orang-orang yang mempunyai semangat menggebu.

Sebelumnya saya tidak yakin akan pendakian selanjutnya yang akan saya lakukan bersama belasan orang-orang dengan semangat menggebu, putra-putri UMP (Universitas Muhammadiyah Purwokerto). Itu alasannya banyak sekali alasan yang sangat positif adanya. Alasan-alasan yang sangat logis untuk membatalkan suatu pendakian. Seperti kesiapan fisik, biaya perjalanan, dan logistik.

Biar saya jelaskan secara rinci bagaimana alasan-alasan yang membuatku sedikit goyah.
  •        Pertama, alasan fisik.
Bermalam selama dua hari di Pasar Bubrah bukan hal yang mudah. Suasana yang gersang dan panas terus menguras energi yang ada. Apalagi suhu siang dan malam hari yang sangat jauh berbeda menciptakan fisik harus selalu menyesuaikan diri. Mungkin kalau badanku berbahan dasar plastik sudah menjadi serbuk jawaban tertempa cuaca yang tak menentu.
  •         Kedua, alasan biaya pendakian.
Mendaki gunung sangat memerlukan dana yang cukup untuk berpindah dari satu gunung ke gunung lainnya. Kecuali, kita mau menjadi seorang walker sejati. Hanya bermodalkan langkah kaki kemanapun kita pergi. Itu niscaya sangat melelahkan. Bisa dibanyangkan saya berangkat bermodalkan uang Rp. 5000 dari kota Solo menuju Wonosobo.
  •         Ketiga, alasan logistik.

Logistik yaitu hal terpenting dalam suatu kehidupan. Selama kita hidup di dunia positif ini, niscaya kita membutuhkan apa yang dinamakan logistik. Apalagi kita sedang berbicara soal mendaki gunung. Salah satu acara yang menguras banyak energi. Jadi, mau tidak mau kita juga memerlukan asupan gizi yang harusnya sanggup lebih dari hari-hari biasanya. Kecuali kita seorang survivor yang handal dan tahan banting.
 
Langsung saja kita simak trip kedua bersama orang-orang dengan semangat menggebu berikut ini.

Setelah sebelumnya saya menulis posting wacana Semangat Menggebu di Sepanjang Jalur Pendakian GunungMerbabu. Kali ini saya akan menyampaikan posting wacana pendakian gunung lainnya. Beberapa hal mungkin masih sama dengan pendakian sebelumnya. Hanya beberapa saja perbedaan yang terjadi. Salah satunya bertambahnya anggota menjadi 16 personil. Hanya Suhri yang tidak ikut ambil belahan dipendakian kali ini. Dan hal yang masih sama yaitu saya tiba seorang diri dari kota kediaman Pakubuwono. Hanya bermodalkan niat dan tekad yang tetap sama sebelum melaksanakan perjalanan. Satu yang ingin saya ucapkan “terima kasih Allah telah Engkau titipkan selembar uang Rp. 5000 untukku”.



Aku berangkat Sabtu, 20 September 2014 sekitar pukul 09:30 WIB bersama dengan ‘si hitam’. Si hitam yaitu kuda besi bersilinder 160 cc yang selalu setia mengantarku kemanapun saya ingin pergi. Namun, naasnya ditengah perjalanan kaki ‘si hitam’ meletus. Untungnya ketika kaki ‘si hitam’ robek jawaban sayatan panas sang aspal, kami sudah hingga di Yogyakarta,  kota Sri Sultan Hamengkubuono. Temanku sudah menunggu semenjak pagi. Menanti kedatanganku dengan sedikit gusar. Langsung saja saya berhenti di depan UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), tempat biasa saya menunggunya. Meski hanya satu jam perjalanan antara Solo-Yogyakarta, saya tak lantas sering-sering main ke kota Gudeg tersebut. Jadi, saya kurang paham dengan jalanan kota Yogyakarta. Lumayan usang saya berdiri menahan pening dikepala jawaban kesialan-kesialan yang menimpaku. Tapi, tak usang berselang ada sosok apatis, santai, dan pastinya ganteng mendekatiku perlahan. Hehehe. Langsung saja jabat tangan begitu hangat kami praktekan ibarat biasanya. Jabat tangan mitra usang yang selalu hangat dan selalu gres dalam setiap pertemuan. Hal itu mengobati rasa gundahku. Mengobati pilu alasannya problema yang ditimbulkan selembar kertas bernominal dan bercorak sebagai pengganti sistem barter. Hatiku seakan berkata “tak apa miskin jajaran uang kertas asalkan masih ada banyak orang yang berteman menggunakan saya (hati)”. Ya, begitulah caraku menikmati hidup yang lebih sering menciptakan sendu ketimbang riang.



 
Perjalanan berlanjut menyusuri jalanan ramai kota Jogja dan padatnya jalanan kecil kota itu. Karena alasan minimnya waktu dan uang, kami mengganti opsi transportasi menuju Wonosobo dengan menaiki bus saja. Kami titipkan ‘si hitam’ disalah satu kos temanku dalam keadaan pincang. Maaf sobat saya sedikit eois dan menelantarkanmu sebatang kara. Selanjutnya kami berboncengan menuju kos sobat tampanku menggunakan motornya menuju salah satu gang dekat UPN. Sesampainya disana kami lantas mempacking barang bawaan dan bertransaksi sepasang sandal gunung dengan uang sebesar Rp. 75.000. Memang bukan nominal yang cukup besar. Tapi, itu lebih dari cukup untuk bersyukur atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya. Waktu terus bergulir seiring denting jam yang memaksa kami untuk cepat-cepat menuntaskan semua persiapan.

Ahirnya selepas sholat dhuhur kami putuskan untuk berangkat menuju salah satu terminal di Yogyakarta. Sebelumnya kami berputar-putar mencari tempat persewaan barang outdoor. Kami berniat menyewa nesting untuk melengkapi peralatan mendaki kami. Tapi, sialnya tak ada satupun stok tersedia disetiap tempat persewaan barang outdoor. Mungkin alasannya hari itu yaitu ahir pekan. Jadi, kebanyakan barang yang disewakan sold out. Sebenarnya sanggup saja saya bawa nesting dari Solo. Hanya saja nesting ynang ada dibawa oleh salah satu sobat mendaki gunung Merbabu . Mau tidak mau saya harus menyewanya sendiri. Tapi, saya pikir tanpa nesting saya masih sanggup memasak dan makan.

Aku sedikit lega ketika Adi menghubungi kami kalau beliau membawa panci dari rumah. Aku sedikit kaget ketika Adi memberi kabar kalau beliau tetap akan bergabung dengan kami untuk mendaki gunung Sumbing. Pasalnya jauh-jauh hari ia menyampaikan kalau beliau akan mendaki gunung Prau. Itu yaitu kabar baik untuk kami berdua atau mungkin kabar baik bagi semua anggota.

Pukul 12:30 WIB kami berdua berangkat dari terminal Jombor, Yogyakarta. Kami menaiki bus jurusan semarang dan berhenti di Magelang. Mungkin Allah menginginkan supaya kami berlaku adil. Karena teman-teman yang berangkat dari Purwokerto juga menaiki bus menuju Wonosobo. Bus yang kami naiki sangat nyaman?. Karena tanpa AC dan berjubal penuh sesak oleh penumpang.

Sesampainya di Magelang lekas kami turun dan mencari bus jurusan Wonosobo. Aku tidak kebagian tempat duduk dan harus berdiri menunggu tempat duduk kosong. Ketika perjalanan hingga di Parakan, barulah saya sanggup duduk dengan tenang menikmati jalanan berkelok dan panorama dua Gunung Sindoro dan Sumbing. Hanya butuh waktu setenganh jam saja kami hingga di Rest Area Kledung. Kami sengaja berhenti disitu alasannya Adi saya suruh menunggu disana.

     1. Basecame Garung, Wonosobo.

Basecamp Gunung Sumbing
 
Perut yang lapar alasannya dari pagi belum terisi masakan memaksaku berjalan menuju salah satu warung makan dipinggirjalan. Soto ayam menjadi sajian enak penuh lemak ditemani secangkir kopi dan segelas teh hangat. Sambil menunggu Adi tiba kami mengisi perut dengan lahapnya. Tak usang berselang nampak sosok pria santun dengan jenggot sedikit memanjang dari waktu terahir saya bertemu dengannya. Ya, dialah Nur Adi Wibowo. Kami berdua sengaja membisu dan akal-akalan tidak melihat kedatangan Adi. Dengan sedikit menahan tawa. Tapi, jebol juga ahirnya pertahanan kami untuk sok tidak kenal. Kembali kita saling bersalaman dan menambah hangatnya suasana yang ada. “Uwis mangan rung wa?” (udah makan belum wa?) sapaku kepadanya. “Uwis wa” (udah wa) katanya sambil menyomot kopiku dan menyeruputnya. Selanjutnya kami mengobrol dan sedikit bernostalgia. Masih ibarat pendakian sebelumnya saya terlambat beberapa jam dari rencana awal pendakian. Padahal saya membawa barang pesanan seseorang yang akan dipakai untuk mendaki. Tapi, apa daya keterlambatan ini bukan keinginanku. Hanya kata maaf yang sanggup saya ucapkan “maaf”.

Selesai makan kami membeli logistik untuk bekal pendakian. Sebelumnya saya sempat berhutang kepada Adi untuk berjaga-jaga jikalau uangku tidak cukup. Kami menuju basecamp pendakian gunung Sumbing didesa Garung Wonosobo. Gapura megah dipinggir jalan sebelum jalan menurun kearah Kretek menyambut dengan gagahnya. Jalan menuju Basecamp terbuat dari aspal dan ketika hendak sampai, jajaran bebatuan yang tertata rapi menjadi trek yang harus dilewati. Kami menggunakan jasa ojek Adi untuk menuju ke Basecamp. Hehehe. Sesampainya di Basecamp kami lantas mengisi botol-botol kosong, membayar retribusi kepada pihak Basecamp, dan mempacking ulang barang bawaan ibarat biasanya.Ketiga belas sobat kami sudah berangkat lebih dahulu pada pukul 16:00 WIB.

2.      2.  Pos 1 KM III Gunung Sumbing.

Pos 1 Malim disiang hari
Selepas maghrib kami putuskan untuk menyusul mereka memulai pendakian dari basecamp. Kira-kira kami berangkat sekitar pukul 18:30 WIB. Langkah-langkah awal terasa biasa saja alasannya jalan yang dilalui yaitu jalanan kampung yang datar. Tapi, itu tak bertahan usang alasannya jalan yang selanjutnya pribadi menanjak drastis. Kami sengaja mengambil jalaur usang alasannya lebih dekat dan tidak melewati jalanan berbatu. Nafas kian memburu dan mulai ada jarak antara kami bertiga. Sesekali saya menengok kebelakang dan memastikan temanku baik-baik saja. Adi sendiri berjalan diposisi paling depan. Sekitar 25 menit kami kembali menemui jalanan berbatu yang kanan kirinya terdapat perkebunan warga. Perkebunan yang didominasi pohon tembakau. Kami istirahat sejenak diujung persimpangan tersebut kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pos 1. Sesampainya di Pos 1 kami terus saja berjalan alasannya kami lihat sudah ada rombongan yang terlebih dahulu menempatinya. Pos 1 sendiri berada di KM III.

3.      3.  Pos 2 KM IV Bukit Genus.

Pos 2 Bukit Genus
Kami melanjutkan pendakian menuju pos 2. Jalanan yang kami lalui semakin menanjak dan berdebu sehingga verbal terasa lebih kering dan cepat lelah. Kami kembali beristirahat didaerah Pencit Engkrak yaitu daerah sebelum mencapai Bukit Genus. Membuka kembali air minum diselingi beberapa celotehan dan dialog khas pendakian. Sedangkan untuk saya sendiri ‘sebatbut’ (sebatang cabut). Setelah beberapa menit tubuh kembali dingin dan kami putuskan untuk berjalan kembali menuju Pos 2 Bukit Genus di KM IV. Kami sempat beristirahat lagi sebelum melewati Engkol-Engkolan dengan kemiringan diatas 60˚. Kami sengaja berhenti untuk menunggu rombongan di depan kami jalan terlebih dahulu. Selain untuk mengurangi resiko kecelakaan, hal itu juga sanggup mengurangi kepulan debu yang dihasilkan dari hentakan kaki.

Orang-orang dengan semangat menggebu sedang beristirahat di Pos 2
Setelah kami rasa ada jeda yang tidak mengecewakan jauh kami lantas melanjutkan perjalanan menuju Pos 3. Berjalan dengan pelan dan tubuh condong kedepan yaitu salah satu trik supaya tubuh tetap seimbang meski membawa beban berat. Langkah demi langkah terus sabar menjemput lahan datar Pos 3. Ditengah perjalanan kami bertiga mendengar suara-suara yang tidak gila lagi ditelinga. Sepertinya itu rombongan kami dari Purwokerto. Benar saja mereka yaitu rombongan kami yang berangkat terlebih dahulu. Aku mencoba mendekati mereka dengan sedikit canda tawa dan saling menyapa satu sama lain.

    
    
           4.  Pos 3 KM V Sedelupuk Roto.


Tak usang kemuadian kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 3 yang tinggal beberapa ratus meter saja. Aku berada diposisi paling belakang dari rombongan. Di ujung jalan menanjak sudah terpampang lahan datar Pos 3 KM V Sedelupuk Roto. Ketika kami hingga Pos 3, banyak yang sudah mendirikan tenda disana. Sepertinya rombongan kami sedikit terlambat hingga Pos 3. Kami harus cepat-cepat mencari lapak dan mendirikan tenda. Kalau tidak ingin bermalam diluar tenda alasannya kehabisan lapak. Dengan sergap anggota pria mendirikan tenda melipir jalur pendakian. Memanfaatkan lahan yang tersisa. Tiga dome kapasitas 4 orang dan 1 dome kapasitas 2 orang kami dirikan.

Angin yang berhembus kencang menghambat proses mendirikan tenda. Apalagi sebagian anggota perempuan mulai merasa kedinginan alasannya kencangnya hembusan angin. Kami harus berjuang  keras mendirikan tenda ketika rengkuhan angin dingin, lelah, dan rasa kantuk menerpa. Memang cukup usang kami mendirikan tenda. Tetapi, kami berhasil mendirikan semua tenda yang kami bawa. Lekas anggota perempuan kami suruh untuk menempati tenda yang sudah siap huni. Sedangkan anggota pria bahwasanya memasukkan barang bawaan kedalam dome.
Hari semakin larut dan angin masih terus berhembus kencang. Memang pada bulan juli-september biasa terjadi hembusan angin cukup kencang di gunung Sumbing. Hampir semua anggota telah tidur di tenda masing-masing. Tinggal menyisakan saya dan Adi saja yang sedang asik menikmati 2 cangkir kopi. Tiba-tiba ada seseorang yang mendekati kami berdua. “Misi mas. Numpang duduk ya” beliau menyapa sembari bersila didepan kami. “Oh iya, mari mas ini juga ada kopi” saya menyampaikan kopi untuknya. Tapi, beliau membalas perkataanku dengan sopan “terima kasih mas, simpel dah nanti”.

Aku perhatikan wajahnya ibarat bukan wajah oriental. Hidungnya yang mancung dengan rambut sedikit pirang  membuatku bertanya padanya “mas indo ya?”. Dia malah bertanya balik “iya, apa mas?”. “Mas ini blasteran?” saya memperjelas pertanyaanku. “Hehe, iya mas”. “Blasteran mana?” saya penasaran. “Bapak orisinil Italia, kalau ibu orisinil orang Jakarta mas” beliau berusaha menjelaskan asal-usulnya. “Wih, keren tuh mas. Udah pernah naik Alpen belum mas?” saya tanya lagi. “Durung mas” (belum mas) jawabnya menggunakan bahasa Jawa. “Nah loh, kok sanggup bahasa Jawa mas?!” saya sedikit kaget. “ Iya saya domisili di Yogyakarta mas. Tapi, kerja di Bali” jelasnya lagi. “Ini orang kok kaya lotek ya? hehehe” gumamku dalam hati. Karena dialog yang semakin menghangat, ahirnya orang itu meminum juga kopi yang mulai dingin.

Obroalan kami terus berlanjut hingga pukul 02:30 WIB sebelum blasteran Italia itu kembali ke tendanya. Sebenarnya beliau memperkenalkan diri. Tapi, saya lupa namanya siapa. Yang niscaya namanya sangat Italia sekali. Sesudah orang itu pergi, masih banyak pendaki lain yang terus berdatangan. Kasihan mereka. Sebagian besar tidak mendapat lapak untuk mendirikan tenda.

Debur angin membawa butiran debu masih terus berlanjut. Dingin menusuk menyakiti suhu tubuh yang normal. Tapi, diluar jauh diatas langit bertabur bintang. Didepan terpampang bayang-bayang hitam Gunung Sindoro. Serta kerlap-kerlip lampu perkotaan ibarat kerumunan kunang kunang bertaburan dihamparan lembah. Bahkan sesekali kilatan bintang menari melukis sementara langit dini hari. Sangat indah kala itu. Mendamaikan meski hati gundah.Penuh ketenangan walau tornado dan teriakan-teriakan sesekali terdengar. Sayang sekali apabila melewatkan momen yang sangat berharga tersebut.

Ahirnya semakin usang dan tanpa sadar saya mulai menyerah dengan dingin dan rasa kantuk, tertidur. Meskipun tertidur saya sesekali terbangun dan mendengarkan bunyi angin yang masih tetap ribut. Sama sekali tidak sanggup tidur dengan nyenyak. Aku sendiri berada satu tenda dengan 4 orang laki-laki, Gibran, Rio, Adi, dan satu temanku. Rio yaitu sobat gres yang berpawakan tinggi tegap ibarat Raden Janoko. Kulitnya putih dan bermimik kalem. Mungkin beliau lebih banyak membisu alasannya tak tau bagaimana memulai obrolan. Yang terang beliau tetap mencoba menciptakan suasana tetap terasa asik dan menyenangkan dengan mengikuti alur yang ada.
 Satu tenda kapasitas 4 orang lainnya juga diisi oleh 5 orang, Awal, Arif, Ari, Parkit, dan Rihan. Parkit dan Rihan juga sobat baru. Rihan berpawakan mungil. Namun, tetap saja badannya lebih berisi dariku. Kacamata melengkapi matanya yang hitam dengan sedikit jenggot tumbuh di dagunya. Aku melihat seorang Suhri didalam dirinya. Meski secara fisik Rihan dan Suhri tak begitu mirip. Kemudian satu lagi sobat gres yang juga mengenakan kacamata berkacamata transparan. Tapi, entah lensa cekung atau cembung yang ia gunakan. Badannya kurus, lebih tinggi, dan  pastinya masih lebih berisi beliau dibandingkan aku. Pemuda dengan kulit sawo matang dengan rambut sedikit ikal itu suka sekali tertawa. Mungkin beliau terlalu senang menikmati suasana yang ada?. Aku lihat beliau begitu menikmati perjalanan meskipun sedikit apatis terhadap sobat lainnya.

Dua tenda lainnya menjadi tempat bersemayam peri malam. Ale, Legina, dan Lia menempati tenda yang berkapasitas maksimal 3 orang. Sedangkan satu tenda lagi dihuni Dania, Puji, dan Siti. Ya, Siti yaitu sobat gres terahir yang ikut bergabung dipendakian kali ini. Kulit sawo matang dan fisik yang tidak mengecewakan kekar untuk ukuran seorang perempuan membuatnya terkesan tomboy. Namun, dibalik itu semua. Sepertinya beliau sedikit pemalu terhadap orang-orang yang gres beliau kenal. Itu semua menambah warna-warni pendakian kali ini. Enjoy aja lagi...

Tak terasa pagi mulai hadir memanggil sang mentari memecah malam. Membuat siratan segaris cakrawala. Awan putih bergumul dibawah bagai samudera awan. Tapi, bagiku lebih ibarat kapas randu kering. Kapan saja sanggup menghilang tersapu angin. Apapun itu, tetap indah dan tetap luar biasa. Meski alam semesta sangatlah indah. Tapi, semua itu tak lebih baik dari seorang manusia. Tanya kenapa? Karena insan diciptakan sebagai khalifah. Tugas mulia yang alam semesta sekalipun tidak sanggup mengembannya. Maka berbahagialah, bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepada kita.

Alam memang indah, cantik, dan luar biasa. Tapi, satu insan lebih berharga darinya. Dengan sempurnanya insan kita dihentikan sombong. Kita hanya perlu menyayangi dan menjaga image tersebut. Salah satunya dengan menjaga alam yang telah Allah Berikan. Tidak hanya tiba untuk menikmati kemudian pergi meninggalkan kerusakan. Lalu apa yang akan anak cucu kita lihat dikemudian hari?. Bagaimana kita menjawab ketika yang ada hanyalah lahan gersang dan tanah penuh erosi?. Jagalah !.

Kalau boleh saya ingin menyelipkan kalimat-kalimat yang membentuk beberapa bait.

Diantara terjaga atau terlelap
Masih kulihat lukisan alam membentang memenuhi pandang
Selalu haru begitu lugu manusia-Mu
Tak begitu sanggup memerik apa yang netra terka
Itu bukan berisik angin
Hanya desik stepa
Ini lain dari dingin sekedar rasa pudar
Kita wajar
Kita kekar
Jangan gusar alasannya halilintar
Tak usah galau alasannya semangatmu yaitu darah
Kendati sabar tetap tegar
Tanpa kesombongan dan keangkuhan
Kenapa insan selalu bertanya kenapa insan?
Risaukah dengan anugerah?
Jangan kufur hingga alpamu uzur
Bagi mereka yang tersenyum sukur
Atau mereka cenderung kufur
Kita hanya perlu sadar menikmati semerbak sekar
Jangan berdiri kemudian berlari
Menjauhi karib ataupun tanah kandung
Kita hanyalah kita yang akan selalu berjalan
Menggoreskan jejak ditanah berdebu
Mengambil gambar dibawah langit biru
Lalu menjaga apa yang kita cinta
Begitu saja
Ya begitu saja

Terlepas dari itu semua salah satu anggota perempuan membuatku panik ketika hari mulai pagi. “Mas ! Dania kedinginan . Badannya menggigil terus Mas!” teriak Egi. Mereka sedikit ribut alasannya ada yang kedinginan hebat, mungkin hipotermia. Aku lekas keluar tenda dan menyuruh Egi untuk menggunakan Sleeping Bag beberapa menit tanpa mengenakan jaket. Alangkah baiknya kalau pribadi bersentuhan dengan kulit. Kemudian setelah itu SB yang sudah dipakai Egi itu diberikan kepada Dania yang sedang mengalami kedinginan. Setauku ada beberapa cara selain menggunakan SB yang telah dipakai selain orang yang terkena hipotermi tersebut. Yaitu dengan cara memeluk si korban secara gotong royong dan menyampaikan air hangat untuk diminumkan. Hal itu bertujuan untuk menstabilkan suhu tubuh si korban.

Hanya berselang beberapa ketika saja Dania sudah kembali normal. Entah beliau benar-benar terkena hipotermia atau tidak. Yang niscaya penanganan cepat lebih baik dilakukan untuk pencegahan. Aku kembali lagi masuk ke dalam dome untuk memasak air. Dania dan beberapa anggota lain juga sempat menghangatkan tubuh disekitar kompor. Air yang saya masak mereka gunakan untuk menyeduh susu, kopi, dan ada juga yang menyeduh sereal.

Kesalahan terbesar yaitu ketika mereka tetapkan summit pada waktu itu juga. Perjalanan dari Camp menuju puncak masih 2 KM lagi dengan medan yang menanjak dan tergolong berat. Memang benar waktu summit paling ideal yaitu bada’ subuh atau sekitar pukul 05:00 WIB. Tetapi, jatah tidur yang masih kurang ditambah lagi energi yang terkuras sewaktu menuju Camp semalam belum terbayar oleh sarapan. Hal itu niscaya akan menghambat perjalanan menuju puncak. Sehingga kata-kata “summit...! , summit...! , summit...!” sengaja tidak saya praktekkan. Aku bermaksud membiarkan mereka beristirahat dengan porsi yang cukup.

   5. Pasar Watu.


Puji dan Lia di Pasar Watu
Aku, Adi, dan satu temanku berangkat paling ahir. Kami sempatkan menikmati minuman hangat terlebih dahulu. Kami bertiga masing-masing membawa satu botol air minum. Karena kami tau mereka yang sudah summit attack terlebih dahulu tidak membawa bekal air minum dan masakan yang memadai. Benar saja gres saja kami hingga diatas Pestan kami dapati satu orang pendaki Roker (Dania) dan Arif yang sedang menjadi juru fotonya sedang asik menikmati pemandangan yang ada. “Yang lain mana?” saya bertanya kepada mereka. “Ga tau mas” Dania menjawabnya. Aku, Adi, dan satu temanku juga menyempatkan berfoto dengan gaya-gaya kocak dengan background gunung Sindoro. “Ayo lanjut jalan lagi?” saya mengajak Arif dan Dania melanjutkan perjalanan. “Aku mau foto-foto dulu mas. Kalian duluan aja, kita mau menikmati suasana dulu” tukas Dania. “Yaudah saya duluan ya” kami bertiga melanjutkan perjalanan menuju puncak. Sengaja saya tinggal Dania dan Arif alasannya kondisi fisik Dania tidak dalam performa yang prima. Dania memaksakan diri tetap mengikuti pendakian walaupun belum pulih seutuhnya setelah sakit. Memang keliru membiarkan beliau tetap ikut. Tapi, saya tau kalau mereka yaitu andal obat dan ramuan-ramuan belakang layar lainnya. Hahaha.

Hamparan samudera awan dilihat dari Pasar Watu
Aku melanjutkan perjalanan dengan langkah niscaya dan elastis. Di Pasar Watu kami bertemu dengan Ari, Ale, Gibran, Puji, Rihan, dan Lia. Mereka sedang beristirahat disana. Kali ini saya hanya menyapa mereka. Sedangkan Adi dan satu temanku tetap tinggal bersama mereka. Aku berjalan dahulu dan berhenti disalah satu trek bebatuan yang tidak mengecewakan curam. Disana ada dua orang perempuan strong Siti dan Legina. Setelah melihatku mereka berdua lantas cepat-cepat mengambil langkah seribu untuk melanjutkan summit attack. Aku hanya tertawa melihat semangat mereka berdua. “Ah, curang kau Mas...!” kata Egi sambil berdiri dan mulai berjalan. Aku sengaja berhenti kalau-kalau anggota dibelakangku membutuhkan air minum dan sedikit sumbangan menaiki rute berbatu tersebut. Ahirnya satu persatu anggota mulai nampak batang hidungnya.

5.     6.  Watu Kotak KM VI.

 
Jalan menuju Watu Kotak
Orang pertama yang terlihat yaitu Adi dengan topi hitam lusuh dan kemeja panjang kotak-kotak dan Gibran dengan membawa daypack dipunggungnya. “Ayo wa lanjut” beliau memintaku ikut. “ Ngko wa ngenteni bocahan. Rika disit bae ngana” (nanti wa nungguin anak-anak. Kamu duluan aja sana) saya memintanya berjalan dahulu. Kemudian tak berapa usang Rihan dan Ari menyusul dibelakangnya. Mereka sempat berhenti dan minum air yang saya letakkan diparit. Tak usang mereka beristirahat kemudian melanjutkan perjalanan menuju puncak.


Masih ada lima orang lagi yang belum nampak batang hidungnya. Tapi, itu tak bertahan usang setelah Puji, Ale, dan salah satu temanku berada sejalur kearahku. Mereka satu persatu menaiki medan berbatu tersebut dan sempat saya bantu si Puji. Sangat terlihat kalau beliau mulai kelelahan dan energinya mulai habis. “Dania sama Arif mana?” saya menanyakan kepada mereka. “Ga tau mas, kayanya mereka ga naik deh” jawab Puji dengan sedikit tersengal alasannya nafasnya masih belum beraturan. “Oh yaudah. Coba kita tungguin bentar kali aja mereka lagi jalan” saya mencoba menyampaikan saran.

Watu Kotak tampak dari jauh
Agak usang kami menunggu kedua sobat kami itu. Tetapi, mereka berdua tak kunjung datang. Ahirnya, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa menunggu lagi. Karena sebelumnya mereka menyampaikan kalau hanya stay dibawah Pasar Watu untuk berfoto kemudian turun lagi menuju camp. Kami berempat melanjutkan perjalanan menuju puncak dengan berat. Puji yang sudah kelelahan berjalan sangat lamban dan sering sekali beristirah. Tapi, kami tetap naik berjalan terus menuju puncak. Air minum yang saya bawa semakin menipis dan nyaris habis. Karena satu botol ukuran 1,5 liter kami gunakan untuk 7 orang.

Aku dan satu temanku terus menyemangati Puji supaya terus berjalan dan semangat. Sesekali saya juga menyampaikan pengarahan kepadanya supaya mengatur nafas.  Setelah kami hingga di Watu Kotak KM VI kami beristirahat cukup usang dan bertemu lagi dengan Adi, Gibran, dan Lia. Sebenarnya ada tempat untuk mendirikan Camp disana. Tetapi hanya muat untuk beberapa tenda saja. Mereka kembali berjalan lagi dalam satu rombongan kecil. Ari mencoba menitih langkah Puji dengan menggandeng tangannya. Cara itu tidak mengecewakan efektif. Terbukti dengan perjalanan yang lebih cepat dari sebelumnya.

  7. Tanah Putih.

Bersantai di Tanah Putih

Terus berjalan dan menyampaikan dorongan yaitu satu-satunya yang sanggup saya lakukan. Hingga pada ahirnya kami bertemu jalan landai, Tanah Putih. Disana Adi, Lia, Ale, Ari, Gibran, Rihan, Puji, Aku, dan satu temanku berhenti untuk beristirahat. Kita berkemas-kemas untuk menapaki tanjakan terahir sebelum puncak. Setelah semua siap kami berjalan kembali. Berjuang menuju Puncak Buntu gunung Sumbing.

  8. Puncak Buntu.

Narsis di Puncak Buntu

Kembali anggota terpecah menjadi beberapa kelompok kecil. Ari sesekali meminta air kepada pendaki lain yang turun. Ada satu rombongan yang salah satunya yaitu seorang ibu paruh baya berusia kepala lima. Beliau sempat memberi kacang goreng dan sedikit air minum. Kami kembali berjalan dan kami kembali meminta logistik kepada pendaki yang turun. Kali ini kami mendapat 2 bungkus mie instan. Selanjutnya Ari berjalan didepan dan menyisakan 3 orang saja (Aku, Puji, dan satu temanku). Kami berjalan dengan penuh canda tawa untuk menghilangkan rasa lelah yang ada. Kami terus menyemangati Puji yang sebenarnya sudah sangat down. Itu menjadi materi celotehan dua orang koplak yang menciptakan Puji terus melangkah hingga Puncak. “Maaf mas, ada sisa masakan atau air minum ga? Kasian temen cewek kita ini kelaparan mas. Dari tadi pagi belum makan” dengan wajah memelas saya meminta logistik pada mereka. “Iya mas, kasian tuh wajahnya aja udah pucet banget” tambah satu temanku. Ahirnya tiga pendaki berinisial D.I.A  memberi kami beberapa keping biscuit dan seperempat botol air minum. Mereka yaitu pendaki asal Temanggung. Kami terus bercanda hingga ahirnya kami berdiri di Puncak Buntu.

Dari Puncak Buntu kita sanggup melihat pemandangan yang sangat indah dan mengagumkan. Kecuali kalau cuaca sedang tak menentu. Kita Bisa melihat beberapa gunung lain ibarat Gunung Slamet, Gunung Prau, Gunung Sindoro, dan Gunung Ungaran sekalipun. Tidak ada ruginya apabila kita mendaki Gunung Sumbing.

7.     9.   Puncak Kawah KM VII.

Puncak Kawah

Aku hingga Puncak Buntu paling ahir setelah satu temanku pada pukul 12:30 WIB. Sesampainya disana kami berfoto menggunakan  tongsis alam (sebatang kayu lurus). Hanya 5 orang saja yang tidak ikut berfoto bersama. Selagi mereka menikmati suasana puncak Aku dan Adi melanjutkan perjalanan menuju kawah. Sebelumnya kami sempat mampir di Puncak Sejati Sumbing (Puncak Kawah) untuk meletakkan plang bertuliskan “puncak”. Aku sarankan untuk tidak naik keatas Puncak tersebut. Karena medan yang sangat curam dan berada disamping tebing. Sedikit kesalahan yaitu cidera parah atau bahkan kematian. Kami melanjutkan perjalanan menuju kawah Sumbing yang masih aktif. Sebenarnya aktifitas ini sangat berbahaya. Karena sanggup saja kawah Sumbing  mengeluarkan gas beracun. Jadi, himbauan untuk teman-teman yang lain supaya tidak memalsukan sikap kami berdua. Kami hanya melaksanakan hal itu alasannya sudah menjadi tradisi kami kalau mendaki Sumbing. Tapi, tetap saja tindakan itu kurang safety. Jangan tiru adegan ini kalau tidak ingin cepat-cepat pulang kepangkuan Ilahi...!

  10. Kawah dan Makam Kyai Makukuan.

Kawah Gunung Sumbing

Selepas menuruni Puncak Kawah kami lantas menuruni jalan terjal menuju Kawah dan Makam Kyai Makukuan. Di kawah Sumbing kita sanggup menjumpai kepulan asap dari air yang mendidih. Air yang ada sangat hangat bahkan panas. Sedangkan endapan dari kepulan asap tersebut menghasilkan welirang yangmenempel di bebatuan. Tidak hanya itu, di Kaldera Gunung Sumbing kita sanggup menjumpai kepunden atau replika makam Kyai Makukuan. Makam yang terbuat dari campuran demen dan dikelilingi oleh bebatuan yang tertata rapi menambah indahnya pemandangan. Makam ini tampaknya biasa dipakai untuk 'nyekar' dan ritual-ritual khusus. Itu terlihat dari lelehan kemenyan atau dupa yang ada disekitar nisan.

Makam Kyai Makukuan

Keasikan bermain-main di Kawah, kami tak sadar kalau teman-teman sudah turun menuju Camp. Kami lekas naik menuju puncak kembali. Disela-sela perjalanan menuju puncak kami kehausan alasannya tidak membawa bekal logistik apapun. Jadi, saya putuskan untuk memakan Cherry hutan yang ada dibibir tebing. Aku masukkan Cherry hutan merah kedalam tas hingga nyaris penuh. Setelah itu kami turun menuju Tanah Putih untuk menikmati Cherry Hutan merah tersebut pada pukul 14:15 WIB. Lumayan juga untuk memuaskan dahaga yang begitu terasa. Susah diungkapkan rasa buah ini. Yang niscaya rasanya “enyak, enyak, enyak”.

Cherry hutan merah
Kami meneruskan perjalanan menuju Camp dan bertemu beberapa anggota. Mereka terlihat lebih bersemangat dan cara berjalannya pun lebih cepat dibandingkan ketika naik. Aku hanya sesekali mengajak mereka bercanda supaya suasana tidak begitu kaku. Aku tetap berjalan menuju Camp tanpa henti. Karena saya tau mereka besar lengan berkuasa dan lebih bersemangat dari sebelumnya. Awal, Parkit, Dania, Arif sudah hingga di Camp lebih dulu. Sesampanya di Camp saya lekas beristirahat dan meminum segelas kopi hitam. Satu porsi bubur instan milik Egi tidak mengecewakan mengganjal perut yang lapar. Ada juga yang sedang memasak mie instan, sop, dan sereal.

Setelah semua anggota berkumpul, kami beristirahat, packing barang bawaan, dan sampah yang ada. Pukul 17:30 WIB kami tetapkan untuk turun setelah semua anggota berfoto bersama. Aku dan Adi berjalan didepan setelah melewati Pos 2. Bukannya kami sok besar lengan berkuasa atau apa. Hanya saja bahu lebih terasa pegal apabila berjalan terlalu pelan. Jadi, kami berjalan terus tanpa henti hingga melewati Pos 1.
Didekat persimpangan antara jalan bebatuan dan jalan perkebunan penduduk kami berhenti untuk menunggu teman-teman turun. Kami isi waktu luang itu dengan memasak air dan menyeduh susu. Tak lupa masakan kecil menjadi pelengkap. Lama kami menunggu disana hingga ada beberapa rombongan pendaki lain yang lewat. Rombongan kami masih tak kunjung datang.

Tiba-tiba ada sapaan seorang gadis yang membonceng sebuah motor. “Mas Adi...!” lantang sapanya menciptakan pandangan kita mengikuti kecepatan laju motor yang ia boncengi. Ternyata itu Dania si “Pendaki Roker”. Ahirnya tak berselang usang Puji juga turun menaiki ojek dari Pos 1. Karena terlalu usang stay kami menjadi kedinginan.  Aku dan Adi kemudian berinisiatif untuk melanjutkan perjalanan menuju Basecame. Ya, kami meneruskan perjalanan alasannya kami lihat ada beberapa pasukan ojek menuju keatas.
Tak berapa usang kami berdua hingga di Pemukiman warga. Kami pribadi menuju Masjid terdekat dari rute pendakian. Setelah itu kami mandi dan mengganti pakaian kami dengan pakaian yang masih bersih. Kami packing ulang barang bawaan dan meletakkan SB diposisi paling atas. Itu alasannya kami akan menginap lagi di Basecame. Setelah semuanya beres barulah kita berjalan menuju Basecame.

Setibanya di Basecane teman-teman sudah hingga terlebih dahulu. Kata satu temanku, mereka sudah menunggu tidak mengecewakan lama. Jadi, kami berdua mohon maaf kalau sudah menciptakan teman-teman menunggu (lewat artikel ini). Mereka berniat untuk pribadi pulang ke Purwokerto malam itu juga. Mereka harus menunggu di Jalan raya sebelum pukul 23:00 WIB. Karena bus jurusan Semarang-Purwokerto lewat pada jam itu. Mereka menuju jalan raya menggunakan kendaraan beroda empat pengangkut tembakau dan ada pula yang menyewa jasa ojek.

Aku hanya termangu melihat mereka pergi. Karena tak banyak yang sanggup saya lakukan kala itu. Semua sobat telah pergi dan menyisakan jejak-jejak didebu rute pendakian. Meninggalkan celotehan menuju puncak. Kini hanya akan ada gambar dan goresan pena yang masih sanggup dikenang seumur hidup. “Karena menulis yaitu salah satu cara supaya kita tetap dikenal meskipun kita telah mati”.

Karena kami bertiga mulai lapar. Jadi, saya dan Adi tetapkan untuk keluar ke jalan raya untuk mencari makan. Karena di Basecame yang gres tidak menyediakan masakan ibarat Basecame sebelumnya. Sesampainya di Gapura desa Garung, kami berdua berhenti sejenak untuk menyapa mereka yang ternyata masih menunggu bus lewat. Aku hanya tertunduk melihat wajah-wajah lelah dengan sisa peluh yang telah mengering. Aku hanya sulit berkata ketika melihat teman-teman menekuk wajah mereka. Mata yang terlihat sayup-sayup tak kuasa menahan kantuk. Serta perut-perut yang belum terisi hingga malam hari. Tapi, sanggup apa aku?

Dalam hati saya hanya berucap “dunia ini tampaknya tidak cocok untuk kalian kawan”. Itu alasannya saya melihat diriku didalam keadaan mereka ketika itu. Membuatku tidak hingga hati. Tapi, kalau kalian masih berkeinginan melihat indahnya Indonesia, saya masih siap untuk berjalan. Sekarang bukan soal apapun. Tapi, wacana sebuah pertemanan.

Kami berdua lekas mencari makan di warung-warung pinggir jalan. Selagi kami membungkus masakan dan gorengan. Bus yang sudah dinantikan dari tadi ahirnya lewat juga. Adi buru-buru menyambangi mereka dan mungkin mengucapkan selamat jalan. Karena saya belum membayar, saya tetap di warung menuntaskan administrasi.

“Sampai jumpa lagi” yaitu kalimat yang sanggup saya ucapkan untuk kalian. Entah kapanpun itu. Dimanapun tempatnya niscaya kita akan bertemu kembali. Walaupun tidak di sebuah perjalanan menuju Puncak. Setelah itu kami berdua kembali lagi menuju Basecame. Tepat pukul 00:00 WIB kami putuskan untuk tidur.

Pagi harinya Senin, 22 September 2014 sekitar pukul 08:30 WIB kami meninggalkan Basecame menuju tempat asal masing-masing. Adi pulang dengan motor palangnya menuju Purwokerto. Sedangkan Aku dan satu temanku kembali menaiki bus menuju kota Yogyakarta. Belum berhenti hingga disitu saya sendiri masih harus melanjutkan perjalanan menuju kota Solo seorang diri. Tepat pukul 20:30 WIB saya menyudahi perjalanan ini. Solo menyambut syahdu dengan kelamnya lampu kota.

Oh iya untuk teman-teman Purwokerto yang berasal dari banyak sekali daerah di Indonesia. “Maaf kalau satu sobat yang saya bawa menjadikan permasalahan, membebani, atau bahkan mengganggu”. Tuhidin hanya orang yang masbodoh dan suka bercanda. Tapi, beliau bukan orang jahat yang harus kalian takuti. Dia bukan juga seorang perokok ataupun perampok. Dia hanya seorang teman. Itu saja. Selamat berjuang menapaki gunung Kehidupan yang keras dan penuh tantangan. Tapi ingat ! “Selalu ada sesuatu yang gres dalam suatu perjalanan. Meskipun itu terjadi disatu tempat yang sama”.

Sekian untuk catatan perjalanan kali ini yang berjudul Jalur Pendakian Gunung Sumbing – Pendakian Menuju Pusara Semu Kyai Makukuan. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan mitra Pecinta Kaldera._ []H2S[]



Keterangan : ‘Wa’ yaitu sapaan untuk abang dari orang renta kita. Dalam hal ini hanya dipakai untuk panggilan keakraban.

Terima kasih kepada : Adi, Ale,  Ari, Arif, Awal, Dania, Gibran, Legina, Lia, Parkit, Puji, Rihan, Rio, Suci, dan Tuhidin (Satu temanku).

 
 

Komentar

Postingan Populer