Semangat Menggebu Disepanjang Jalur Pendakian Gunung Merbabu


Gambar : Foto bersama di Gunung Merbabu


Salam rimba !

- Selamat siang sahabat Pecinta Kaldera. Lama sudah Pecinta Kaldera tidak melaksanakan posting. Dampaknya mbah google jadi kurang akrab dengan Pecinta Kaldera. Hal itu menciptakan ane jadi merana. Tapi, kali ini ane akan memperlihatkan postingan perihal trip ane yang terbaru.


Pagi itu Solo sudah menguapkan seluruh embun yang membasahi dedaunan padi didepan rumah berwarna merah jambu. Rumah untukku tidur. Tetapi, bukan rumahku ataupun rumah mereka teman-temanku. Ya, mereka yang satu atap denganku sejak saya tinggal dikota yang kental dengan tradisi jawanya. Surakarta atau Solo.

Sebenarnya bukan soal rumah merah jambu atau perihal kota Solo yang ingin saya tuliskan dalam beberapa paragraf selanjutnya. Melainkan Semangat Menggebu  disepanjang Jalur Pendakian Gunung Merbabu. Ya. Artikel tersebut yang akan saya kupas tuntas sesuai alur yang tolong-menolong dan pastinya dengan cara pandangku.

Langsung saja kita simak pengalaman kami mendaki digunung  cantik dan eksotis, gunung Merbabu. Sebenarnya setiap gunung mempunyai keunikan dan keelokannya sendiri. Tak terkecuali gunung  Merbabu. Temanku Nur Adi Wibowo lah yang pertama kali mengajakku mendaki gunung yang terletak pada koordinat 7˚30 LS 110˚24 BT/7,5˚ LS 110,4˚BT dan juga merupakan gunung stratovolcano. Artinya gunung ini masih ada kemungkinan aktif kembali menyerupai gunung Sindoro. Secara administratif gunung Merbabu terletak di wilayah Kabupaten Magelang dilereng sebelah barat, Kabupaten Boyolali disebelah timur dan sebelah selatan, sedangkan dibagian utara Kabupaten Salatiga dan Semarang.


Kalau saja planning pendakian ini terwujud, ini berarti pendakian keempatku ke gunung Merbabu. Pagi harinya 14 Juni 2014 Adi begitu orang-orang memanggilnya menghubungiku kalau rombongannya sudah berangkat dari Purwokerto sekitar pukul 05.00 WIB. Aku hanya menjawab supaya mereka berhati-hati dijalan. Karena perjalanan dari Purwokerto menuju Boyolali tidak mengecewakan jauh dan memakan waktu. Terlebih mereka gres sekali ini datang  ke Boyolali. Ahirnya sekitar pukul 13.00 WIB Adi menghubungiku kalau mereka hampir hingga di Boyolali. Aku menyuruh mereka untuk beristirahat terlebih dahulu di Basecame Pak Parman. Begitu para pendaki menyebutnya. Itu alasannya yaitu rumah pak Parman dipakai untuk Pos bagi para pendaki melaporkan diri. Selain untuk beristirahat juga untuk melaksanakan proses aklimatisasi untuk mereka.

Singkat dongeng saya yang terpisah sendiri dari rombongan alasannya yaitu saya berangkat dari Solo. Sekitar pukul 14.00 WIB saya akhir packing perlengkapanku mendaki dan logistik. Get ready for the next trip. Hehehe. Sekitar pukul 15.40 WIB saya hingga di Selo dan dilanjutkan menuju rumah Pak Parman. Namun, sebelum makam saya dicegat beberapa perjaka yang membuatku sedikit bingung. “Apa Basecamenya dipindah kesini ya?” tanyaku dalam hati. “Mas, kini motor pendaki harus dititipkan disini mas” salah satu perjaka berbicara didepanku. “Loh, kenapa begitu mas? Ini kan belum hingga di Basecame” dengan nada yang sedikit tinggi. Mengingat kakiku yang masih sakit pasca tertabrak kendaraan beroda empat box. Dengan tegas perjaka itu menjawab “iya mas, kini semua kendaraan pendaki dititipkan disini. Kalau tidak mau. Silaahkan putar balik kendaraan panjenengan mencari Basecame lain”. “Loh. Nggak bisa mas teman-teman saya sudah usang menunggu di Basecame. Sudah saya parkir disini saja. Soalnya saya buru-buru” jawabku agak kurang puas dengan keadaan ini.

 1. Basecame
Setelah memarkir kendaraan, saya mengganti pakaian siap tempur dan menuju Basecame. Disela perjalanan saya menemui seorang laki-laki paruh baya dengan baju yang rapi dan mengenakan peci hitam di kepalanya. “Ngapunten pak. Menopo nggih radinan meniko dipun tutup mboten angsal dipun lampahi?” (maaf pak. Kenapa ya jalanan itu ditutup dihentikan dilewati?). Pria paruh baya tersebut memandangku dan menjawab “panjenengan badhe minggah?” (Kamu mau keatas?). “Nggih Pak”(iya pak) jawabku singkat. “Oh, saniki trahe radinan teng daleme Pak Parman dipun tutup kagem poro pendaki mas. Sebabipun wonten pekerjaan jalan” (oh, kini memang  jalan menuju rumah Pak Parman ditutup untuk para pendaki mas. Sebab ada pekerjaan jalan) terang bapak tersebut. “Nggih sampun Pak. Monggo” (ya sudah Pak. Mari) kemudian saya beranjak berjalan di depan laki-laki itu. Langkah demi langkah menapaki jalanan desa yang  selebar 5 langkah orang berilmu balig cukup akal saja. Langkah semakin saya percepat supaya lekas hingga dirumah Pak Parman. Di kanan kiri jalan saya disuguhi pemandangan yang tidak mengecewakan memanjakan mata. Hamparan perkebunan warga yang tertata rapi.

Sedikit lagi saya hingga di Basecame, rumah Pak Parman. Dari kejauhan terlihat laki-laki muda yang sudah tak absurd lagi. Dialah Nur Adi Wibowo, sahabat baik yang selalu memotivasiku untuk menjadi lebih baik lagi. Kaos pendek berkerah warna hitam yang ia kenakan harmonis dengan topi yang menempel menutupi rambut ikalnya. Seakan sudah sangat siap menjajal sensasi treking gunung Merbabu. Sambutan hangat saya terima darinya. Uluran tangan kemudian menggenggam erat tanganku. Lalu menariknya dan menciptakan badanku agak condong kedepan dan sedikit tepukan dipunggung. Senyumnya yang lebar bagai penantian seorang keluarga terpuaskan oleh keahadiranku. Hatiku bahagia mencicipi hal itu.

Gambar : Basecame Gunung Merbabu via Selo

“Yang lain mana wa?” begitu saya menyapanya. “Udah duluan wa, soalnya sama cewek-cewek” jawabnya. “Oh, ya sudahlah wa. Sorry loh saya lama” sambil meletakkan carrier yang saya gendong. “Nyantai wa” ia menjawab sekenanya. Obrolan terus berlanjut berseling dengan beberapa kegiatan yang sudah biasa kami lakukan sebelum melaksanakan pendakian. Seperti : mengisi botol dengan air mineral, melapor pada pihak Basecame, Packing ulang barang bawaan dan lain sebagainya.

Sekitar pukul 16.45 kami putuskan untuk memulai pendakian. Adi sendiri berjalan di depan dengan jeda yang tidak mengecewakan jauh denganku. Sedangkan saya masih membenarkan tali sepatu dan letak manset tangan. Tetapi, tak selang berapa usang saya mendapatinya sedang beristirahat diparit. Nafasnya terlihat memburu. Begitu juga dengan nafasku yang notabennya seorang perokok. Biasanya hal ini terjadi diawal pendakian.Masih dalam tahap pembiasaan terhadap medan yang dilalui. Padahal medan yang dilalui masih tidak mengecewakan landai. Seteleh beristirahat sejenak, kami melanjutkan pendakian untuk mengejar rombongan kami di depan sebelum hari mulai gelap. Aku takut mereka salah menentukan jalur memotong pribadi menuju hutan heterogen yang agak rapat. Vegetasi yang ada disepanjang jalur tersebut menutupi jalur pendakian. Sehingga apabila dilewati oleh orang yang belum pernah melewatinya, mereka akan mengira kalau mereka tersesat. Ahirnya saya dan Adi melewati pos 1 dan tak kunjung bertemu rombongan kami. Tapi, ditengah perjalanan. Sekelompok monyet bergelantungan diatas pepohonan. Sejenak kami berdua menikmati suasana itu. Karena hari sudah bertambah redup kami putuskan untuk kembali berjalanan.

 2. Pos 1

 
Gambar : Pos 1 disiang hari

Kami terus mempercepat langkah supaya lekas bertemu mereka. Tak berapa usang terdengar bunyi saling bersahut-sahutan memecah senja yang mulai kabur memudar diganti malam. “Hei!” lantang teriakan mereka mengagetkanku. Ternyata itu rombongan kami. Adi menyalami semua anggota dan saya masih berada di belakangnya. Aku bertanya pada rombongan yang ada dibelakang. Kukira mereka satu rombongan bersama rombongan Adi. Ternyata mereka rombongan berbeda yang bergabung dengan rombongan Adi. Kemudian saya mengikuti adi menyalami mereka satu persatu dan masing-masing memperkenalkan diri. Gegap gempita suasana ketika itu hingga saya sulit membedakan siapa yang sedang berbicara. “Semangat anak muda” gumamku dalam hati hehehe. Kami mulai melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutrnya, pos 2. Tapi, disela perjalanan pos 1 menuju pos 2 kami berhenti untuk melaksanakan sholat maghrib. Setelah semua anggota melaksanakan sholat maghrib, kami meneruskan perjalanan menuju pos 2.

 3. Pos 2

Gambar : Arif dan Suhri berdiri di depan plang Pos 2
 
Aku hanya tersenyum melihat dan mendengar canda tawa mereka. Aku sendiri berada diposisi paling belakang dirombongan sebagai sweaper. Aku biarkan mereka berteriak, tertawa, dan bercanda gurau satu sama lain. Karena hal itu bisa mendongkrak semangat masing-masing individu. “Ayo kawan, kalian belum habis hingga disini!” dukungku dalam hati. Karena saya sendiri belum pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Makara saya menentukan untuk membisu dan sesekali memberi semangat. Walau gres pertama mereka mendaki Gunung Merbabu, mereka terus berjalan dengan semangatnya. Sebenarnya saya tau tubuh mereka sudah kelelahan. Tapi, semangat mereka yang menciptakan mereka bertahan dan terus berjalan. 

“Aku suka orang-orang ini...!!!”


 4. Watu Tulis

Gambar : Watu Tulis disiang hari

Sekian usang kami berjalan, pos 2 bisa kami gapai dan melanjutkan ke Watu Tulis. Sesampainya di Watu Tulis kembali mereka bercanda gurau dan saling mengembangkan minuman, madu, dan juga plester koyo. Aku masih membisu dan tak banyak bicara. Hanya sesekali menjawab pertanyaan dari teman-teman yang menanyakan masih seberapa jauh jarak menuju camp Sabana 1. Karena kita beristirahat terlalu lama, badanku mulai mencicipi tikaman angin dingin. Aku berjalan mondar-mandir disekitar kawasan mereka duduk untuk menghangatkan tubuh supaya tidak kedinginan.

5. Sabana 1 

Gambar : Camp kami di Sabana 1
Karena melihat tingkahku tersebut. Salah satu anggota mengajak kami melanjutkan perjalanan Sabana 1. Kami berniat mendirikan camp disana. Tapi, sebelumnya saya sudah memberi tau kalau ini yaitu trek paling sulit yang harus dilewati. Sehingga saya menyuruh mereka berhati-hati. Baru sekitar 1/3 melewati tanjakan tersebut mereka terliat kesulitan alasannya yaitu kemiringan dan medan yang licin , rusak akhir erosi. Ahirnya saya putuskan untuk mendahului pribadi menuju Sabana 1 bersama Adi untuk mendirikan Camp. Pertimbanganku terburu-buru menuju Sabana 1 untuk mencari lapak untuk mendirikan tenda. Karena kulihat rombongan lain sudah mulai meringsek naik. Aku takut kalau nanti rombonganku tak kebagian lapak. Setelah saya hingga di Sabana 1, lekas saya titipkan carrierku di tenda pendaki lain yang lebih dulu membuka lapak.
Aku kembali turun dan Adi mengikutiku dari belakang. Kami turun untuk membantu teman-teman yang sekiranya butuh proteksi sekaligus mengambil sebotol air mineral yang lupa saya bawa naik. Setelah menyelidiki semua anggota lengkap dan dalam keadaan tak menghawatirkan. Aku kembali naik untuk mendirikan tenda di spot yang sudah saya pilih sebelumnya. Sekali lagi ini bukan soal siapa yang menjadi pendekar atau menjadi pecundang. Tapi, ini lebih condong kearah keselamatan dan kenyamanan masing-masing anggota.

Aku dan Adi mendirikan tenda dibantu beberapa anggota laki-laki lainnya. Sementara anggota putri hanya terbaring lemas memakan bekal yang mereka bawa. Kasihan mereka tampaknya kelaparan dan kedinginan alasannya yaitu angin bertiup sedikit kencang dan suhu mulai turun. Bahu membahu kami mendirikan tenda dan memasukkan barang bawaan masing-masing kedalam tenda. 2 tenda kapasitas 4 orang dan 1 tenda kapasitas 2 orang kami isi 13 orang. Aku berada satu tenda dengan Suhri dan adi. Suhrilah orang pertama yang ku tau namanya. Selanjutnya kami memasak mie instan yang kami bawa. Namun, kompor yang saya bawa mendadak bocor dan tidak sanggup digunakan. Dua kompor yang mereka bawa juga bocor satu. Sah, kini hanya satu kompor yang sanggup dipakai untuk memasak. Hal itu tentu saja mengahambat proses memasak. Dampaknya semua anggota putri tepar semua sehabis memakan bekal nasi matang yang mereka bawa. Karena terlalu usang menunggu mie instan matang.

Disela-sela proses memasak ada satu hal konyol yang terjadi. Kompor portable yang tadinya bocor dinyalakan. Alhasil api menyambar dan membakar penggalan dalam tenda hingga robek agak lebar. Untung saja Adi mempunyai reflek yang bagus dan membuang kompor bersama gas keluar tenda dan hampir mengenai Awal yang berada diluar tenda. Awal. Ya, orang kedua yang saya kenal. Dia mempunyai postur tubuh paling tinggi dan mempunyai kulit yang putih. Kami bertiga (aku, Adi, Awal) cepat nyambung dalam mengobrol. Karena ia yaitu orang Pekalongan. Selanjutnya kami ngopi-ngopi ria didalam tenda. Tentu saja dengan menghisap sebatang rokok. Sebenarnya saya tidak yummy dengan mereka.Karena hanya saya saja yang seorang perokok. Tapi, apa boleh buat its me. “Maaf mas, saya merokok ya?” menyerupai kalimat permisi untuk Suhri. Ternyata mereka asik juga. Hingga pada pukul 02:00 WIB kami tidur.

Malam telah hengkang memanggil pagi membangunkan kami. Tapi, benar apa kataku. Kita mustahil bisa melaksanakan summit attack pada pukul 04:00 WIB. Sekitar pukul 05:00 WIB kami gres bangkit dan melaksanakan sholat subuh. Satu hal lagi membuatku tertunduk melihat ketulusan mereka dalam beribadah mengahadap sang Empunya hidup. Karena saya sendiri masih sangat dangkal dalam pengetahuan akan hal itu. Terima kasih teman, sudah memberiku pelajaran berharga. Rencana summit attack yang awalnya pukul 04:00 WIB. Sekarang mundur 1,5 jam dari kegiatan semula. Apa boleh buat. Manusia hanya bisa berencana, Tuhanlah yang menentukan.

6. Sabana 2  dan Trek Menuju Puncak


Gambar : Sabana 2 disiang hari

Gambar : Trek Menuju Puncak Merbabu
Pukul 05:30 WIB kami memulai summit attack dengan membawa beberapa botol air mineral dan beberapa karbohidrat.Hanya seorang saja yang tinggal dan tetap berada didalam tenda alasannya yaitu terkena flu, dialah Suhri. Tampak terperinci di depan mata jalur pendakian yang menyirat kolam terlukis dengan sendirinya dilereng-lereng bukit. Masih dengan semangat yang sama mereka terus berjalan. Bahkan lebih dari sebelumnya. Disela-sela perjalanan kulihat mereka mengabadikan momen serta panorama yang ada memakai lensa kamera. Aku hanya melihatnya dari atas punggungan bukit. Aku mencicipi  kesenangan yang sama. Kesenangan yang selalu saya rindukan perihal kebesaran Allah yang bisa kita nikmati.

Peluh terus mewarnai perjalanan, masih tetap semangat yang sama. Sesekali berhenti dan menghela nafas panjang-panjang. Kita beristirahat. Perjalanan menuju puncak terbagi menjadi beberapa rombongan kecil. Ketika melewati sabana 2 ada salah satu anggota yang tetapkan untuk turun kembali ke camp. Satu keputusan yang bijak telah ia ambil. Dialah Dania Banowati. Perjalanan menuju puncak merupakan waktuku mengenal satu persatu nama anggota.

Mereka yaitu Gibran, Legina, Ari,Amalia,Arif,Fuji,Lia. Ahirnya saya mengenal mereka dengan cara alami dan tak memerlukan alur yang rumit. Mereka orang-orang dengan semangat membara. Aku berada paling depan dari rombongan dan tentunya pertama juga hingga dipuncak triangulasi. Kemudian disusul Adi, gadis strong Legina, dan Pria jenaka Gibran. Tak berapa usang anggota lain menyusul dibelakangnya.
Aku harap mereka tau dengan sendirinya kenapa banyak orang tiba ke gunung. Kalau kata salah satu sahabat pendaki “jangan tanya kenapa kita suka mendaki gunung. Tapi datanglah ke Gunung dan temukan sendiri jawabannya disana”.

Puncak !

 Ya, kami hingga dipuncak. Kecuali 2 sahabat kami yang memang tidak bisa melanjutkan pendakian alasannya yaitu alasan yang mengharuskan mereka menunda berdiri di puncak. Puncak merupakan kepuasan tersendiri. Tapi, pulang dengan selamat yaitu tujuan utama mendaki dan mutlak hukumnya. Dari sini kita bisa amelihat penampakan banyak sekali gunung seperti, Gunung Merapi, Gunung Sumbing, Gunung Lawu, Gunung Sindoro, Gunung  Ungaran, Gunung Senopati, Gunung Telomoyo, Bahkan Gunung Prau sekalipun.

Mereka sempatkan berfoto mengabadikan setiap momen yang ada. Dengan gaya mereka sendiri-sendiri. Dengan cara mereka sendiri. Aku juga sesekali ikut berfoto bersama mereka atau juga berfoto sendiri. Karena sayang sekali melewatkan momen seindah itu. Momen yang tidak bisa setiap hari kita bisa melihatnya. Dengan gaya narsis atau selfy atau gaya apapun. Itu sah-sah saja, alasannya yaitu berfoto bukanlah dosa dan siapa saja bisa mengambilnya. Karena gunung bukan milik seorang  atau milik kelompok. Gunung yaitu milik kita semua yang wajib kita jaga dan mencintainya. Karena pada hakikatnya apa yang kita cintai harus kita jaga semampu kiata.

7. Puncak Kenteng Songo 3142 MDPL

Gambar : Puncak Kenteng Songo 3142 MDPL

Tempat kita berdiri ketika ini bukanlah titik tertinggi gunung Merbabu. Karena titik tertinggi gunung Merbabu yaitu Kenteng Songo 3142 MDPL. Sekitar 100 meter dari kawasan kita berdiri. Nah, ini yang menciptakan mereka problem besar antara melanjutkan ke Kenteng Songo atau kembali turun menuju camp. Cukup dengan salah satu celetuk salah satu anggota saja, kaki kembali melangkah menuju titik tertinggi 3142 MDPL.
Hanya sebentar saja kami hingga di Kenteng Songo, puncak sejati sekaligus titik tertinggi gunung Merbabu. Kembali lensa kamera menjepret setiap momen yang ada. Setelah puas menikmati suasana dan berfoto bersama, kami kembali menjejakkan kaki. Kali ini bukan untuk mengejar pun cak. Tapi, melangkah untuk kembali dengan selamat.

Bagian inilah yang tolong-menolong memerlukan mental yang lebih. Karena trek puncak menuju camp Sabana 1 rata-rata mempunyai kemiringan hampir 70˚ atau bahkan lebih. Sehingga kami harus berhati-hati ketika menuruninya. Menurutku untuk menghadapi trek dengan abjad menyerupai itu lebih nyaman dengan cara berjalan zig-zag (berjalan kekanan dan kekiri). Setelah menuruni bukit pertama dari puncak, kelompok terpisah kembali menjadi beberapa rombongan kecil. Aku, Ari, Lia,dan Amalia berada dibarisan paling belakang. Adi dan Awal berada didepan kami. Legina dan Puji berada dirombongan ketiga dari belakang, sedangkan Gibran dan arif berada dirombongan paling depan menuju camp.

Dorongan perut lapar dan panas yang mulai terasa menyentuh kulit memaksaku untuk turun lebih cepat. “Aku duluan ya, mau masak buat makan kita” sambil menuruni bukit kedua dari puncak. Kemudian saya tinggali rombongan paling belakang bekal air yang tersisa. Aku berjalan tanpa henti dan bertemu dengan rombongan Adi. Kemudian dijalan menurun terahir sebelum camp saya bertemu Legina dan Puji. Tapi, saya terus berjalan menuju sabana 1. Gibran, Arif, Suhri dan Dania sedang mengobrol disana. Aku lantas mencopot sepatuku dan melai menyalakan kompor portable untuk memasak air  dan sanggup dipakai untuk menyeduh mie gelas,kopi, dan susu.

Sesi kedua memasak air untuk menciptakan sop sayur mayur. Agak usang menunggu sop matang. Karena kita tau sulit sekali mendapat air mendidih secara tepat di gunung. Terlihat Puji dan Legina tiba dicamp. Ini giliranku bersantai ria menikmati segelas kopi ditemani hembus belaiaan sang bayu dan gumpalan kabut putih turun memngelus stepa yang ada. Di bawah naungan pohon bunga Edelweiss saya mencicipi ketenangan. Sementara rombongan lainnya mulai hingga dicamp dan menambah keramaian dan hangatnya suasana. Dua juru masak kita (Dania dan Puji) masih sibuk merawat kuliner mereka dengan banyak sekali kelucuan. Akupun ikut tertawa melihat tingkah jenaka mereka.
Kapan lagi suasana menyerupai ini akan kembali menyambangi diri. Hehehe. Semoga keadaan itu bisa kita pahami dan ambil makna didalamnya. Bagaimana sesuap nasi sangat berharga, kenapa segelas air begitu berguna. Agar kesombongan bisa bertahap tergerus dan ahirnya akan terhapus disetiap hati manusia.

Tak terasa hari mulai sore. Kembali kita mempacking semua barang bawaan dan membawa sampah yang kita timbulkan. Kami turun. Formasi sedikit berubah alasannya yaitu saya tau mereka niscaya sudah mengerti medan yang akan dilalui, saya didepan sendiri. Di bawah Batu Tulis saya berhenti dan memandang kearah lereng di depanku bersama Adi, Gibran, dan Legina. Melihat hamparan padang Edelweiss dan kejenakaan mereka menuruni bukit menuju lembah. Sangat saya nikmati suasana kala itu. Hingga ada bait-bait yang tercipta ditengahnya didampingi nyanyian syahdu juga musikalisasi puisi milik Soe Hok Gie.

Ketika punggungan itu membuatku menengadah
Memandang lebih dari biasanya
Ditengah lunglai dan dikala redup mataku
Entah kenapa sukma ini bergetar akan keluguan juga kepolosan
Meski tak mendekapmu kala hambar menusuk menyayat
Kendati tanganku tak merengkuh jemarimu ketika kamu terpuruk
Kau harus tau...
Meski kita gres sama-sama tau, sama-sama mengerti
Ketika saya bercerita pada beku sang bayu dan semilirnya
Bahwa lembah yang saya jejaki tak pernah berbohong
Batu tempatku bersandar tak pernah menghindar
Bahwa sekali lagi saya rasakan
Harusnya kamu sadar saya menatapmu berbeda
Lebih dari yang lain
Sebenarnya kamu mengerti
Saat mentari pecah di garis cakrawala
Dia tiba untuk memberikan segalanya
Semua yang saya adukan masa senja terjerembab
Aku hanya tertunduk...
Ketika anyir bunga infinit semerbak tak mereka kenali
Saat belaian mesra nyanyian syahdu beku sang bayu
Merenggut mimpi dalam tidurmu
Semoga mereka tau perihal cintaku kepada alam
Bagaimana caranya memperlakukan kita dengan baik
Ternyata satu rasa bisa bersemi dikala hening menerpa jiwa yang lelah
Kau mengerti kalau kamu memahami perihal bahasaku
Dan perihal bait-bait yang mengalir sealur dengan jalanan setapak sang giri
Kesombongan...
Keangkuhan...
Dan kerendahan hati lebih saya rasakan
Lebih dari kalian yang hanya menggigil kedinginan
Jauh dari mereka yang terlelap dalam lunglai
Lihatlah saya masih terjaga
Maka kamu akan mengenaliku seutuhnya dalam dawai alunan bernada tanpa sumbang

Heri Harto Sembodo

Nah, begitulah yang sempat saya pikirkan. Sangat tenang ketika itu melihat kabut yang mulai turun perlahan menyusuri lembah. Setelah semua anggota terkumpul kita sempat berfoto kembali dan diedit oleh Fuji.

Gambar : Ini ia hasil editan Fuji

Setelah puas berfoto dan beristirahat menikmati suasana. Kami turun menuju Basecame dan sesekali berpapasan dengan pendaki lain. Aku dan Adi berada diposisi paling belakang dan sempat tertinggal tidak mengecewakan jauh alasannya yaitu sholat ashar terlebih dahulu ditengah perjalanan. Tetapi, kami bersama lagi di pos 1 hingga Basecame. Kami hingga di  puncak dengan waktu standar 6,5 jam dan turun Basecame hanya sekitar 4 jam.

Karena perjalanan dari Basecame hingga Purwokerto  memakan waktu yang tidak sedikit. Mereka putuskan untuk menginap semalam di Basecame. Apalagi hari sudah beranjak malam. Tapi, saya sendiri harus kembali ke Solo malam itu juga alasannya yaitu ada kuliah pagi. Melihat teman-teman kedinginan dan satu –persatu mulai tidur. Aku tinggal saja Sleeping Bagku untuk mereka gunakan. Ahir dongeng saya kembali berjalan menuruni perkebunan menuju kawasan parkir kendaraan pada pukul 20:00 WIB dan hingga di Solo pukul 21:45 WIB.

Sekian untuk catatan pendakian kali ini yang berjudul Semangat Menggebu  disepanjang Jalur Pendakian Gunung Merbabu
Salam Rimba.  []H2S[]

Komentar

Postingan Populer